A. Perlakuan Word Trade
Organisation (WTO) Terhadap Negara-negara Berkembang
Perdagangan bebas pada
prinsipnya merupakan sebuah sarana untuk membentuk hubungan perdagangan antar
Negara guna mecukupi segala kebutuhan Negara-negara tersebut. Perdagangan bebas
hanya akan ideal apabila dilakukan oleh Negara-negara yang mempunyai power
setara, akan tetapi sangat berbeda jika yang melakukan aktivitas perdagangan
tersebut antara Negara maju dengan Negara berkembang atau Negara maju dengan
Negara terkebelakang, maka hasilnya sudah dapat ditebak, yaitu Negara
berkembang akan menjadi bulan-bulanan Negara maju.
Oleh karena itulah Word
Trade Organisation (WTO) sebagai regulator perdagangan bebas memberikan
perhatian khusus kepada Negara-negara berkembang untuk dapat terlibat dalam
perdagangan bebas tanpa harus takut mendapatkan perlakuan diskriminatif dari
Negara-negara maju.
Adapun perhatian tersebut diwujudkan dalam
berbagai macam aturan yang memberikan keistimewaan bagi Negara-negara
berkembang dalam melakukan aktivitas perdagangan dengan Negara-negara maju,
seperti subsidi, proteksi melalui tarif serta beberapa pengecualian yang
terdapat dalam aturan Word Trade Organisation (WTO).
Sedangkan bentuk-bentuk
upaya lain yang dilakukan WTO sebagai bentuk perhatiannya kepada Negara
berkembang adalah sebagai berikut:
1.
Word Trade Organisation (WTO) melakukan banyak konfrensi atau kerja sama
teknis .
2. Secretariat
Word Trade Organisation (WTO) melakukan pelatihan-pelatihan kepada para pejabat
pemerintah atau pihak lainnya dan Negara-negara berkembang.
3. Mengumpulkan
dana dari Negara-negara Word Trade Organisation(WTO) yang kaya untuk
menyelenggarakan program-program yang melindungi kepentingan Negara-negara
berkembang atau Negara tidak berkembang.
4.
Mendorong Negara-negara berkembang atau Negara-negara tidak berkembang
untuk melakukan perundingan-perundingan yang diantaranya seperti perundingan
untuk menurunkan proteksi di Negara-negara berkembang yang sudah relatif maju.
5. Mendorong dibuatnya
kesepakatan-kesepakatan Word Trade Organisation (WTO) yang mengandung
ketentuan-ketentuan khusus berkenaan dengan kepentingan Negara-negara
berkembang.
6.
Penyediaan bantuan teknis oleh sekertariat Word Trade Organisation (WTO)
yang diperuntukkan bagi Negara-negara berkembang, seperti dalam bentuk
pelatihan dalam bidang-bidang tertentu.
7. Memberikan perhatian khusus bagi Negara-negara
tidak berkembang dengan cara membuka pintu selebar-lebarnya oleh Negara maju
bagi produk dari Negara-negara tidak berkembang tersebut. Serta
menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi bagi Negara-negara tidak berkembang.
8.
Sejumlah Negara anggota Word Trade Organisation (WTO) menyediakan dana
untuk membiayai para menteri dan anggota delegasi dari anggota negara tidak
berkembang untuk menghadiri pertemuan-pertemuan para menteri.
9. Negara
Swiss menyediakan kantor cuma-cuma di Geneva yang diperuntukkan khusus bagi
Negara-negara tidak berkembang.[1]
Meskipun WTO telah
memberikan keistimewaan berupa pengecualian-pengecualian atau Special and
Differential Treatment Clause (S&D) untuk mendorong keikutsertaan negara
berkembang dalam perdagangan bebas tersebut, akan tetapi implimentasi dari
ketentuan perlakuan yang khusus kepada negara berkembang dan terbelakang ini
sering kali menjadi hambatan di dalam perundingan perdagangan, hal tersebut
dikarenakan penerapan akan S&D sangat ditentang oleh negara maju yang
memandang bahwa Special and Differential Treatment Clause (S&D) hanya akan
lebih mengganggu perdagangan internasional daripada menguntungkan.[2]
B.
Praktek-praktek Perdagangan yang Tidak Adil
Selain perlakuan
diskriminasi terhadap Negara importir atau perlakuan diskriminasi pada
produk-produk impor, hukum WTO juga menyediakan peraturan-peraturan terperinci
mengenai dumping dan jenis subsidi terlarang, yang kedua praktek tersebut pada
umumnya dikategorikan sebagai bentuk-bentuk perdagangan tidak adil.
1. Dumping
Pengertian dumping dalam
konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga
internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor yang
menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan
di pasar dalam negeri sendiri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas
produk ekspor tersebut.[3]
Sedangkan menurut Erman
Rajagukguk dalam bukunya Butir-butir Hukum Ekonomi, mendefinisikan dumping
sebagai tindakan menjual barang di luar negeri lebih murah daripada dalam
negeri, atau menjual barang di suatu Negara lebih murah dari pada Negara lain
atau menjual barang keluar negeri yang lebih rendah dari biaya produksi dan
transportasinya. Tindakan tersebut akan melanggar ketentuan perdagangan
internasional apabila mengakibatkan injurikepada produksi dalam negeri.[4]
Dengan melihat defenisi
di atas, maka dapat diketahui bahwa sesuatu yang dapat dikatakan dumping yang
melanggar ketentuan WTO memiliki kreteria sebagai berikut:
a. Produk dari satu Negara yang
diperdagangkan oleh Negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari
harga normal.
b. Akibat dari diskriminasi tersebut yang
menimbulkan kerugian materiel terhadap industri yang telah berdiri atau menjadi
halangan terhadap pendirian industri dalam negeri.[5]
c. Adanya hubungan sebab-akibat antara
harga dumping dengan kerugian yang terjadi.
Para ahli ekonomi pada
umumnya mengklasifikasikan dumping dalam tiga kategori, yaitu dumping yang
bersifat sporadis(sporadic dumping), dumping yang bersifat menetap (persistent
dumping) serta dumping yang bersifat merusak (predatory dumping). Disamping itu
dalam perkembangannya muncul istilah diversionary dumping dan down streem
dumping.
a.
Sporadic Dumping
Sporadic dumping adalah dumping yang
dilakukan dengan menjual barang pada pasar luar negeri pada jangka waktu yang
pendek dengan harga di bawah harga dalam negeri Negara pengekspor atau biaya
produksi barang tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghapuskan barang
yang tidak diinginkan. Dumping jenis ini bisa mengganggu pasar domestik Negara
pengekspor karena ketidakpastian permintaan dari luar yang bisa berubah secara
tiba-tiba.
b.
Persistent Dumping
Persistent dumping adalah
penjualan barang pada pasar luar negeri dengan harga di bawah harga domestik
atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus menerus yang
merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang telah dilakukan sebelumnya.
Penjualan tersebut dilakukan oleh produsen barang yang mempunyai pasar
monopolistic di dalam negeri dengan maksud untuk memaksimalkan total keuntungannya
dengan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dalam pasar
domestiknya.[6]
c.
Predatory Dumping
Istilah predatory dumping
dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari
pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor.
Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang
memproduksi barang sejenis.[7]
d.
Diversionary Dumping
Diversionary dumping
adalah dumping yang dilakukan oleh produsen luar negeri yang menjual barangnya
ke dalam pasar Negara ketiga dengan harga di bawah yang adil dan barang
tersebut nantinya diproses dan dikapalkan untuk dijual ke pasar negara lain.
e. Down Streem Dumping
Down streem dumping
adalah dumping yang dilakukan apabila produsen luar negeri menjual produknya
dengan harga di bawah normal kepada produsen yang lain di dalam pasar negerinya
dan produk tersebut diproses lebih jauh dan dikapalkan untuk dijual kembali ke
pasar Negara lain.[8]
Sedangkan apabila
ditambahkan dengan pendapat Robert Willig, maka klasifikasi jenis dumping
ditinjau dari segi tujuan eksportir dapat dilihat sebagai berikut:
a. Market Expansion Dumping
Perusahaan pengeksport
bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah di pasar impor
karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang
ditawarkan rendah.
b. Cyclical Dumping
Motivasi dumping jenis
ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas,
kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas
produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.
c. State Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin
sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi.
d. Strategic Dumping
Istilah ini diadopsi
untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara
pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara
pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke
pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir
independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh
keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing-pesaing
asing.[9]
2.
Anti Dumping
Adapun upaya untuk
memproteksi adanya praktek dumping tersebut diperlukan sebuah tindakan yang
disebut dengan Anti-Dumping. Anti-Dumping dapat didefiniskan sebagai suatu
bentuk tindakan balasan yang dilakukan pemerintah Negara importir dengan cara
pengenaan bea masuk anti-dumping terhadap barang-barang yang diduga dumping dan
menimbulkan kerugian serius atau ancaman kerugian bagi Negara importir.
Agar dapat menentukan
apakah dumping telah terjadi, umumnya perbandingan harga dari “Nilai Normal” dengan
“Harga Ekspor” harus ditetapkan. Perbedaan kedua harga tersebut adalah marjin
dumping. Marjin dumping tersebut penting, karena sebuah tindakan dumping tidak
boleh melebihi marjin tersebut.
“Nilai Normal” menurut
Pasal 2:1 Anti-Dumping Agrement, adalah harga dari “barang sejenis” di pasar
Negara pengekspor. Agar transasksi penjualan dapat dipergunakan untuk
menentukan nilai normal suatu barang, menurut Case Law.[10] Yang sudah
bertahun-tahun teruji:
a.
Penjualan harus dilakukan dalam keadaan yang biasa.
b.
Penjualan harus dilakukan terhadap barang yang sejenis.
c.
Barang harus ditujukan untuk konsumsi di Negara pengekspor.
d.
Harga-harga dari barang tersebut harus dapat dibandingkan.
Akan tetapi apabila tidak
dimungkinkan untuk menentukan “Nilai Normal” dari barang yang menggunakan
metode Anti-Dumping Agrement, maka dapat menggunakan salah satu dari metode
alternatif lain, yaitu dengan menggunakan harga ekspor ke negara ketiga sebagai
Nilai Normal atau mengkotruksi Nilai Normal.
Nilai normal dan harga
ekspor kemudian dibandingkan untuk menentukan besarnya marjin dumping.
Perbandingan tersebut harus adil, oleh karena itu pada Pasal 24 Anti-Dumping
Agrement menyediakan aturan tentang alternatif tersebut. Marjin dumping dapat
positif dan dapat juga negatif. Positif jika harga ekspor lebih rendah dari
pada nilai normal (positif dumping) dan terbukti negatif ketika harga ekspor
lebih tinggi dari pada harga normal (negatif dumping).[11] Serta terjadinya
dumping yang less than fair valuetetapi tidak menimbulkan kerugian, maka
dumping tersebut tidak dilarang.
Dalam Pasal 9 dan 11
Anti-Dumping Agreement, mengatur penerapan dan pengumpulan bea masuk
anti-dumping. Hal tersebut penting agar:
a. Tidak melebihi marjin dumping
(perbedaan harga ekspor dan nilai normal barang yang dipermasalahkan).
b. Hanya
diterapkan sepanjang dan sejauh untuk mengambil tindakan penghapusan terhadap
kerugian yang diakibatkan oleh dumping tersebut.
c. Hanya diterapkan paling lama lima
tahun, kecuali terbukti bahwa hal tersebut akan menjurus kepada kerugian yang
bersifat terus-menerus dan berulang-ulang.[12]
3.
Subsidi
a. Subsidi yang Dilarang
Dalam Pasal 3 Agrement on
Subsidies and Contervailing Measures (Perjanjian Mengenai Subsidi Dan Tindakan
Imbalan), WTO secara tegas melarang jenis subsidi tertentu:
Subsidi ekspor, artinya subsidi-subsidi
yang diberikan secara hukum (de jure) atau kenyataan (de facto), apakah secara
tunggal atau secara satu di antara beberapa kondisi, tergantung pada performa
ekspor.
Subsidi pengganti impor,
artinya subsidi yang diberikan secara tunggal atau satu di antara beberapa
kondisi, tergantung pada penggunaan barang domestik barang impor.
Dalam Pasal 4 Agrement on
Subsidies and Contervailing Measures (Perjanjian Mengenai Subsidi Dan Tindakan
Imbalan) mengatur tentang penyelesaian apabila terjadi sengketa atas subsidi
yang dilarang tersebut. Jika panel atau Appellate Body menemukan bahwa sebuah
tindakan merupakan subsidi yang dilarang yang masuk ke dalam pengertian Pasal 3
Agrement on Subsidies and Contervailing Measures, maka subsidi tersebut harus
ditarik oleh anggota WTO tanpa penundaan. Jika rekomendasi untuk penarikan
tidak diindahkan dalam waktu yang ditetapkan oleh panel, maka Badan
Penyelesaian Sengketa oleh WTO harus berdasarkan permohonan tergugat atau
penggugat-penggugat dengan konsensus terbalik mengijinkan tindakan balasan yang
sesuai.
b. Subsidi yang Menyebabkan
Kerugian
Berdasarkan Pasal 5
Agrement on Subsidies and Contervailing Measures, bahwa subsidi dapat
bermasalah apabila mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain. Ada tiga jenis
pengaruh yang dapat menyebabkan kerugian terhadap kepentingan para anggota
lain, yaitu:
1) Kerugian terhadap industri domestik
negara anggota.
Konsep kerugian terhadap industri domestik
seperti yang dimaksud Pasal 5 (a) Agrement on Subsidies and Contervailing
Measures mencakup kerugian material atau ancaman terjadinya kerugian terhadap
industri domestik penghasil barang sejenis.[13]
2) Pembatalan atau pengurangan terhadap
keuntungan yang seharusnya didapat secara langsung atau tidak langsusng oleh
anggota.
3) Praduga
yang serius.[14] Termasuk ancaman atas hal tersebut terhadap kepentingan
anggota lain.
c. Subsidi Pertanian
Secara garis besar
subsidi dalam ekspor pertanian tidak dilarang, dengan syarat bahwa mereka telah
didaftarkan dalam Section 2, Part 4 GATT Schedule of Concessions para anggota.
Para anggota tidak boleh menyediakan subsidi-subsidi ekspor yang telah
terdaftar melebihi skema rencana keuangan dan level komitmen kuatitatif yang telah
di daftarkan dalam jadwal mereka.[15]
4.
Countervailing duties
Selain
peraturan-peraturan mengenai subsidi, hukum WTO juga menyediakan
peraturan-peraturan atau tindakan-tindakan yang boleh diambil oleh anggota WTO
untuk melindungi industri domestik yang menghasilkan barang-barang sejenis
melawan akibat dampak negatif dari impor atas barang-barang bersubsidi.
Dalam Pasal 6 GATT 1994
mengizinkan para anggota WTO untuk menerapkan apa yang dikenal dengan “bea
masuk” (Countervailing duties)”.[16] Countervailing Duties adalah tambahan bea
masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh
negara pengekspor untuk perusahaan eksportir.[17] WTO memungkinkan negara untuk
menempatkan Countervailing Duties pada impor ketika pemerintah asing mensubsidi
produk ekspornya yang pada gilirannya menyebabkan cedera pada
perusahaan-perusahaan impor yang bersaing.
Terlepas dari kenyataan bahwa subsidi
ekspor menghasilkan keuntungan bersih bagi negara pengimpor, negara pengimpor
diperbolehkan di bawah aturan WTO untuk melindungi diri dari manfaat ini.
Countervailing Duties ditempatkan jika dapat ditunjukkan bahwa subsidi memang
menyebabkan cedera untuk mengimpor perusahaan yang bersaing.
Perlu penekanan bahwa
Countervailing Duties dalam hal ini tidak melindungi negara juga tidak
melindungi konsumen. Hukum ini dirancang untuk membantu perusahaan domestik.
Tidak ada evaluasi efek pada konsumen dan tidak ada evaluasi dari efek
kesejahteraan nasional diperlukan oleh hukum. Satu-satunya persyaratan adalah bahwa
cedera disebabkan kepada perusahaan impor yang bersaing.[18]
Countervailing Duties
dikenakan terhadap barang impor setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai
normal dengan harga ekspor dari barang tersebut, perhitungan tersebut sama
dengan Pasal 19 Tentang Bea Masuk Anti-dumping dikenakan terhadap barang impor
yang terkena dumping.[19]
Jelasnya suatu Negara dapat mengenakan
Countervailing Duties apabila subsidi yang diberikan memenuhi hal-hal sebagai
berikut:
a.
Subsidi tersebut harus mengakibatkan “be level pricing” di Negara
pengimpor.
b. Subsidi produk primer yang telah mengakibatkan
membanjirnya barang melampaui”equitable shere” di pasar inetrnasional.
c.
Subsidi tersebut menimbulkan kerugian terhadap industri yang telah ada.
d. Subsidi
tersebut menghambat pendirian industri.[20]
Sumber
:
http://mahfudfahrazi86.blogspot.co.id
Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional.
Aspek Hukum Dari WTO, cetakan pertama (Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2004),
hlm. 105-106
http://www.jambilawclub.com/2011/09/dampak-pembentukan-world-trade.html,
akses 04 Desember 2011
Fernandes Raja Saor, ketentuan
anti-dumping: pengertian dan studi kasus yang melibatkan indonesia melalui WTO,
raja.saor@gmail.com
Erman Rajagukguk, Butir-butir Hukum
Ekonomi, cetakan pertama, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 32
Mohammad Sood, Hukum Perdagangan
Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 121
Sukarni, Regulasi Anti-Dumping, Di bawah
Bayang-bayang Pasar Bebas, cetakan pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
hlm. 40
Mohammad Sood, Hukum Perdagangan
Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 121
Sukarni, Regulasi Anti-Dumping, Di bawah
Bayang-bayang Pasar Bebas, cetakan pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
hlm. 42
Mohammad Sood, Hukum Perdagangan
Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 121
Case Law adalah sistem penyelesaian
sengketa yang ada dalam Word Trade Organisation (WTO). Lihat Peter Van Den
Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), hlm. 5
Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum
WTO (Word Trade Organisation),cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2010), hlm. 41
Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum
WTO (Word Trade Organisation),cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2010), hlm. 43
Barang sejenis adalah barang produksi
dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik
atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau kimiawi menyerupai
barang terselidik dimaksud. Lihat Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang
Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor
Praduga yang serius terhadap kepentingan-kepentingan
anggota lainnya seperti yang dicantumkan dalam Pasal 5(c), dapat timbul dalam
situasi (1) ketika sebuah subsidi mempengaruhi impor barang yang sejenis dari
anggota lain di dalam pasar dari anggota yang memberikan subsidi (2) ketika
sebuah subsidi mempengaruhi ekspor dari sebuah barang sejenis dari anggota
lainnya di pasar Negara ketiga (3) ketika subsidi menyebabkan pemotongan harga
yang signifikan oleh barang bersubsidi dibandingkan dengan barang sejenis
anggota lainnya di pasar yang sama (4) ketika subsidi menjurus kepada
meningkatnya pembagian pasar dunia dari anggota WTO yang memberikan subsidi
pada barang atau komuditi utama tertentu. Lihat Peter Van Den Bossche dkk,
Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2010), hlm. 40
Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum
WTO (Word Trade Organisation),cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2010), hlm. 45-50
Ibid.hlm. 48
http://www.businessdictionary.com/definition/countervailing-duty.html,
Akses 22 November 2011
http://internationalecon.com/Trade/Tch110/T110-3.php,
akses 22 November 2011
Lihat Pasal 19 Undang-undang Nomor 10
Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
Mohammad Sood, Hukum Perdagangan
Internasional, cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 194
Nama : Nita Priyani
Kelas : 4ea03
Npm
: 16213475
Tulisan : Etika Bisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar