PENDAHULUAN
v ETIMOLOGI
Sebutan
“Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok
masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden) seperti halnya suku bangsa Arab yang memiliki nama
hampir sama juga, yaitu suku Badui. Konon katanya, sebutan “baduy” diberikan
oleh pemerintahan kesultanan Banten ketika itu terhadap masyarakat asli banten
yang enggan untuk menerima ajaran islam seperti halnya suku badui di masa nabi
Muhammad Saw. Dan atas sikap penolakan mereka terhadap islam, sehingga mereka
diasingkan ke daerah pedalaman.
Kemungkinan
lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian
utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagaiurang
Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau
sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna,
1993).
v WILAYAH
Banten
merupakan sebuah provinsi di sebelah barat Pulau Jawa memiliki moto “Iman
Taqwa”. Moto ini mengartikan bahwa seluruh masyarakat Banten adalah orang-orang
yang memiliki agama atau kepercayaan yang kuat dan mendominasi hampir seluruh
kehidupan mereka. Ibu kota Banten adalah Serang. Hari jadi provinsi Banten
adalah 4 Oktober 2000. Titik koordinat wilayah Banten adalah 5° 7′
50″ – 7° 1′ 11″ LS dan 105° 1′ 11″ – 106° ’12” BT.
Untuk
saat ini pemerintahan Provinsi banten dipimpin oleh Gubernur Hj. Ratu Atut
Chosiyah. Luas wilayah Banten sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 tahun 2000 adalah 9.160,70 km2, dengan Populasi 10.644.030 jiwa,
dan kepadatan 1.161,9/km².
Demografi
Banten sendiri terdiri dari Suku bangsa Banten dengan presentase
sebesar 47% dari jumlah penduduk, Sunda dengan presentase sebesar 23%
dari jumlah penduduk, dengan presentase sebesar Jawa 12% dari jumlah penduduk,
dengan presentase sebesar Betawi 9,62% dari jumlah penduduk, Tionghoa
dengan presentase sebesar 1,1% dari jumlah penduduk, Batak dengan
presentase sebesar 0,93% dari jumlah penduduk, Minangkabau dengan
presentase sebesar 0,81%, dari jumlah penduduk Lain-lain dengan presentase
sebesar 54% dari jumlah penduduk. Mereka berbahasa Sunda, Jawa Banten,
Indonesia, dan Betawi. Dan kebanyakan mereka memeluk agama Islam, karena hampir
96,6% jumlah presentase pemeluk agama islam. Sedangkan yang beragama Kristen
1,2%, Katolik 1%, Buddha 0,7%, dan Hindu 0,4%.
Wilayah
laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial selain karena batas
daerahnya. Batas daerah Banten sebelah utara adalah Laut Jawa, yang dikenal
dengan potensi perikanan yang cukup bagus bagi Jawa. Kemudian sebelah Barat
berbatasan dengan Selat Sunda, yang merupakan merupakan salah satu jalur lalu
lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan
Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand,
Malaysia, dan Singapura. Disebelah selatan berbatasan dengan Samudera
Indonesia, yang berpotensi untuk memperkaya mata pencarian penduduknya, dengan
berlayar mencari ikan besar. Dan yang terakhir di sebelah timur, yang
berbatasan dengan DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Di
samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila
dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah
Tangerang raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang
selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah
Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa
pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan
kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan
alternatif selain Singapura.
Iklim
Banten sendiri adalah Iklim Tropis. Daerah Banten terbagi menjadi 8
daerah kabupaten/kota. Diantaranya adalah Kota Tangerang Selatan, Ciputat, Kota
Cilegon, Kota
Serang,
Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, dan Kabupaten
Tangerang.
Di
Provinsi Banten terdapat suku asli, yaitu Suku Baduy. Suku Baduy Dalam
merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti modernisasi,
baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Perkampungan masyarakat Baduy
umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah
ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus
dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak. Masyarakat Baduy memiliki
tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang terletak di Pegunungan
Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau berkonflik dan
taat pada tradisi lama serta hukum adat.
Kadang
kala suku Baduy juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di
Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan
mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan
Keundeng. Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah
selatan ibu kota Serang.
PEMBAHASAN
v SEJARAH SUKU BADUY
Menurut
kepercayaan warga sejarah suku baduy dalam berasal dari Batara Cikal, yaitu
salah satu dari tujuh dewa yang di turunkan ke bumi. Batara cikal memiliki
peran untuk mengatur keseimbangan di bumi. Versi ini hampir sama persis dengan
cerita di turunkannya nabi Adam, sebagai makhluk pertama dan memiliki tugas
untuk mengelola bumi. Suku baduy pun percaya bahwa mereka adalah keturunan nabi
Adam.
1. Sejarah Suku Baduy Dalam Menurut Ahli Sejarah
Sedangkan
pada versi yang lain, para ahli sejarah memiliki pendapat sendiri terkait
sejarah suku baduy. Pendapat mereka berdasar pada temuan prasasti sejarah,
kemudian di telusuri pula melalui catatan para pelaut dari Portugis dan
Tiongkok serta di hubungkan dengan cerita rakyat tentang Tatar Sunda. Meskipun
pada kenytaannya, cerita mengenai Tatar Sunda ini sangan sedikit sekali
referensinya.
Menurut
ahli sejarah, masyarakat baduy (kanekes) memiliki kaitan dengan kerajaan
Pajajaran (saat ini wilayah Bogor). Yang di ketahui, Pajajaran ada sekitar di
abad ke-16. Pada saat dimana kerajaan atau kesultanan Banten belum berdiri,
wilayah yang kemudian menjadi kesultanan Banten, ialah daerah yang sangat
penting dan memiliki peranan yang signifikan. Saat itu, Banten masih menjadi
bagian dari wilayah kerajaan Sunda. Banten berfungsi sebagai pelabuhan yang
memang terkenal besar.
Di
banten terdapat sungat Ciujung yang berfungsi sebagai pelabuhan dan bisa di
lewati beragam jenis perahu. Sungai ini menjadi lalu lintas angkutan
barang-barang hasil pertanian dari wilayah pedalaman. Pangeran Pucuk, penguasa
saat itu merasa perlu untuk melestarikan dan menjaga wilayah tersebut, terutama
terkait kelestarian sungainya. Wilayah itu di kenal dengan nama Gunung Kendeng.
Karena
alasan itu, pangeran pucuk memerintahkan pasukan prajurit pilihan untuk menjaga
kelestarian Gunung Kendeng-Sungai Ciujung. Mereka tinggal dan bertugas sebagai
penjaga wilayah tersebut. Maka, dengan adanya pasukan kerajaan tersebut, lambat
laun kehidupan mulai berjalan normal. Jadi bisa di simpulkan bahwa sejarah suku
Baduy dalam dan yang hari ini kita kenal adalah berasal dari pasukan yang di
utus oleh Pangeran Pucuk yang bertugas melestarikan sungai Ciujung – gunung
Kendeng. Pada masanya, suku baduy menutup identitas mereka terhadap orang luar.
Karena di khawatirkan akan di ketahui oleh musuh-musuh kerajaan Pajajaran.
2. Sejarah Suku Baduy
Dalam Versi Van Tricht
Versi
ketiga tekait sejarah suku baduy dalam ialah dari dokter Van Tricht yang
berkunjung ke Baduy di tahun 1982 kemudian mengadakan penelitian terkait
kesehatan masyarakat disana. Van Tricht tidak mengakui kedua pendapat diatas,
ia memiliki pendapat sendiri mengenai sejarah suku baduy dalam dan ia
mengatakan bahwa masyarakata Baduy sudah ada sejak lama disana dan merupakan
masyarakat asli sana. Menurut Van Tricht masyarkat baduy terutama warga
masyarakat suku baduy dalam memiliki sifat yang menolak keras dan tidak bisa
mengadopsi kebudayaan luar. Selain itu, menurutnya masyarakat baduy dalam
sangat mempertahankan kebudayaannya. Itu terbukti suku baduy dalam masih sangat
ketat untuk mempertahankan kebudayaan nenek moyang mereka.
Pendapat
Van tricht terkait sejarah suku baduy dalam ini sejalan dengan pendapat
Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5). Menurut dua ahli ini saat itu raja yang
berkuasa di wilayah sekitar Baduy adalah Rakeyan Darmasiska, raja ini
memerintahkan masyarakat Baduy yang memang sudah tinggal disana dari dahulu
untuk memelihara Kabuyutan (tempat pemujaan nenek moyang). Menjadikan kawasan
tersebut sebagai “Mandala” atau kawaan suci. Masyarakatnya sendiri di kenal
memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan (wiwitan:asli,pokok). Sampai sekarang pun
masyarakat baduy masih memegang teguh kepercayaan tersebut.
BAHASA
DAN KEPERCAYAAN
a) Bahasa
Bahasa
yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang
Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat,
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan
lisan saja.
Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup
mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes
masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes
tidak dapat membaca atau menulis.
b) Kepercayaan
Kepercayaan
masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada
pemujaan kepada arwah nenek moyang (Animisme) yang pada perkembangan
selanjutnya juga dipengaruhi oleh Agama Buddha, Hindu, . Inti kepercayaan
tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang
dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting
dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apa
pun”, atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu
beunang disambung.
(Panjang
tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu
tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di
bidang, Pertanian bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur
lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah
lahan dengan Bajak, tidak membuat Terasering (halaman belum tersedia),
hanya menanam dengan Tugal (halaman belum tersedia), yaitu sepotong Bambu
yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan
apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama
panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi,
bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek
kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi
lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan
bulan Juli. Hanya Pu’un atau
ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang
mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat
batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan
batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat
Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak
turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering
atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi
sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang
dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan
masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
v PEMBAGIAN MASYARAKAT SUKU BADUY
Masyarakat
suku Baduy sendiri terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok terbesar disebut
dengan Baduy Luar atau Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes.
Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung.
Mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang
mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Suku Baduy Luar biasanya sudah
banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal
kebudayaan luar, seperti bersekolah.
Sementara
di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka.
Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik,
Cibeo dan Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal
di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.
Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa
disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana,
dan Cikeusik.
Kelompok
Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal
2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh
(Cihandam). Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam
menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar
menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri
lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna
putih-putih. Sedangkan, Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan
ikat kepala bercorak batik warna biru.
Masyarakat
Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini
bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang
menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di
Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan
kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi
di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di
Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang
berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau
pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa
yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris
Kokolot.
v MATA PENCAHARIAN
Mata
pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma
dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah
gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang
dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam
ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid
tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di
langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku
Baduy sendiri.
Adapun
sebutan siku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan
dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti
dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang
seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk
dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku
Baduy.
Konon
pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah
Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada
waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan
gelar PRABU SILIWANGI.
Kemudian
pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan
oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini
adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke
selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh
dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta
senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan
belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat
asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “
Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir,
nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan
perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa
wangatua”
Artinya
: jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan
ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada
harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “
Suku baduy masih setia dengan adat istiadatnya yang menjalani kehidupan seperti
leluhurnya. Tak heran, jika orang Baduy Dalam hingga kini tetap pantang
menggunakan sabun, menumpang mobil atau mengendarai sepeda motor. Bahkan tak
pernah bersepatu. Jika bepergian ke Jakarta misalnya, mereka tempuh dengan
berjalan kaki selama tiga hari tiga malam. Daftar pantangan tabu bagi mereka
masih berderet: Tak bersekolah, menggunakan kaca, menggunakan paku besi,
pantang mengkonsumsi alkohol dan berternak binatang yberkaki empat, dan masih
banyak lagi.
Prinsip
kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat
mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun
secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia,
dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy
terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan
dalam prinsip hidup sehari-hari.
Orang
Baduy tak saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Mereka tak membeli beras, tapi menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi
menenun kain sendiri.. Kayu sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di
hutan mereka, yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8
hektar kawasan hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk
menjaga 120 titik mata air”, kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro
pamarentah) suku Baduy.
Kemandirian
mereka dari hasrat mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain
tampak pada beberapa hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan
listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik.
Mereka juga membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan
insfrasuktur seperti jalan desa, lumbung padi, dan sebagainya.
Orang
tak bisa menuding begitu saja, bahwa suku Baduy Dalam terbelakang. Ternyata,
mereka menguasai teknik pertanian dan bercocok tanam dengan baik, sembari tetap
menjaga kelestarian lingkungan. “Mereka memang tak bersekolah. Belajar di
ladang dan menimba kearifan hidup di alam terbuka adalah sekolah mereka”, tutur
Boedihartono, antropolog dari Universitas Indonesia, yang pernah meneliti suku
Baduy selama beberapa tahun. “Yang amat menggembirakan, tingkah laku yang
meneladani moralitas utama, menjadi acuan utama bagi kepribadian dan perilaku
orang Baduy dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perkataan dan tindakan mereka
pun polos, jujur tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar. Karena itu, banyak merasa senang jika berurusan dengan orang
Baduy karena mereka pantang merugikan orang lain”, ujarnya lagi.
Untuk
menjaga kemurnian adat dari pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan
dalam mengunjungi kawasan pemukiman kaum Baduy, sesekali jaro (kepala desa)
Baduy Dalam melakukan sidak ke desa Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah ada benda-benda
yang bisa melunturkan kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita radio yang
dianggap melunturkan kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa bunyi sepeda
motor, radio, televisi dan mesin apa saja apa saja yang menimbulkan asap dan
bunyi-bunyian, maka desa-desa Baduy adalah titik tenang. Bunyi gemeletak alat
penenun menjadi irama lembut yang menemani keheningan alam di sana.
Akan
tetapi, amatlah sukar menjaga keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang
serba hiruk pikuk ini. Misalnya kini, mulai tampak anak-anak Baduy yang
“meninggalkan” pakaian tradisional mereka, berupa kain tenunan tangan dengan
warna hitam dan putih, dengan memakai kaos ala seragam kesebelasan sepakbola
Italia yang “berteriak” dengan warna-warni meriah. Mereka yang selama ini
menabukan jual beli dan penggunaan uang, dengan menetapkan pola barter,
akhirnya mulai terlibat proses dagang.
v PEMERINTAHAN
Masyarakat
Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti
aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk
Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah
Camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi,
yaitu “Pu’un”.
Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah “Pu’un” yang ada di tiga
kampung tangtu. Jabatan
tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak,
melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu’untidak ditentukan, hanya
berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
v INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT LUAR
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara
otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari
kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat
Kanekes secara rutin melaksanakan Seba (halaman belum tersedia) ke
Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut
terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,
palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa
Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk
Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam
sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan
yang pada waktu yang lampau dilakukan secara Barter, sekarang ini telah
mempergunakan mata uang Rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan,
madu, dan gula kawung/aren melalui para Tengkulak. Mereka juga membeli
kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang
Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan
Ciboleger.
Pada
saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai
dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari
sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima
para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan
bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat
tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak
menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap
terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba
masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada
saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan
kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3
sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes
sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut
biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
v PENUTUP
Keberadaan
suku baduy di daerah Rangkas Bitung – Banten bukan lagi hal yang asing bagi
masyarakat indonesia, khususnya bagi masyarakat Banten itu sendiri. Keterbukaan
masyarakt suku baduy terhadap masyarakat luar memudahkan bagi para sejarawan
untuk mengetahui lebih dalam lagi dan melakukan penelitian akan sejarah suku
Baduy alias Orang Kanekes yang lebih terperinci.
Hari
ini masyarakat suku baduy tidak lagi menjadi mayarakat atau kelompok yang suka
berpindah-pindah tempat (nomaden) seperti yang dikatakan para ahli sejara. Pola
hidup mereka berubah menjadi komunitas yang menetap karena mereka telah mampu
bercocok tanam (bertani) yang merupakan mata pencahariannya bahkan telah
terbentuk pemerintahan untuk mengatur masyarakat suku baduy itu sendiri. Bahkan
masyarakat baduy luar sudah mulai bersosialisasi layaknya masyarakat moderen.
Suku
baduy adalah satu dari ratusan bahkan ribuan suku-suku yang menghuni tanah
nusantara ini, dan ini adalah bukti kekayaan akan keanekaragaman budaya Negara
kita Indonesia dan selayaknya kita berbanga dengan ini. Maha suci Allah yang
telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa sehingga kita bisa
saling kenal satu sama lainnya.
SUMBER REFERENSI
:
- Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.
- Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
- Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net,
- Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian Arheology on the Net.
Sumber :
Nama :
Nita Priyani
Kelas : 2EA03
Npm : 16213475
Tulisan : Softskill ekonomi koperasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar